Kamis, 01 Desember 2011

Secangkir Cappucino dan almond pie:)

Apa arti minuman yang kita teguk dan makanan yang kita santap bagi potongan kenangan di benak kita? Mungkin ada orang yang tak begitu perduli, setengah memperhatikan, atau sangat terkesan dengannya. Aku menjadi kelompok yang terakhir. Secangkir cappuccino dan almod pie selalu membawa potongan-potongan kenangan dalam rentetan gambar seumpama film.
“Mengapa tak memilih apple pie atau cheese cake?” Seorang teman pernah menanyakan padaku saat minum kopi berdua di cafĂ© langgananku. Aku tak memberikan alasan yang jelas, hanya menggeleng sambil menuliskan pesanan di atas lembaran kertas yang disodorkan pramusaji.
“Mengapa tak mencoba menu baru?” Pramusaji perempuan yang cukup mengenalku menawarkan. “Fruit cake kami sangat lezat, Mbak.” Aku kembali menggeleng. Bukan karena tak menghargai upaya memuaskan pelanggan yang dilakukannya, tapi aku hanya ingin almond pie.
Kisah bermula saat aku bersama seseorang yang sedang dekat denganku menikmati hari Minggu yang menyenangkan. Kami membeli beberapa bacaan dan menghabiskan siang dengan bercakap dan membaca ditemani bercangkir-cangkir cappuccino dan beberapa iris almond pie. “Enak, ya pie ini. Manisnya cocok dengan rasa kopinya.” Ujarnya dari balik koran berbahasa Inggris yang dicermatinya. Aku menggumam tanda setuju. Tanganku juga tengah melembari koran lokal dengan berita tentang teater nasional yang sukses manggung di kota gudeg ini.
Entah berapa kali aku dan dia duduk di tempat itu dengan pilihan menu yang sama. Juga saat kisah itu harus berakhir, aku tetap duduk di sana dan memesan hal serupa.
Untuk mengabadikan kenangan akan seorang lelaki yang pernah mewarnai hari-hariku? Oh, tidak! Tentu saja tidak! Aku memang telah jatuh cinta pada secangkir cappuccino dan sepotong almond pie. Nyatanya beberapa lelaki lagi melintasi hidupku, berbagi menu yang sama, dan kemudian berlalu. Tapi tak ada yang merubah kesukaanku akan menu favorite itu.

Kedua santapan itu tak hanya kunikmati saat berdua menikmati hari yang manis dan berwarna, namun terlebih saat sendiri. Pengalaman menatapi senja yang perlahan turun di atas kota dan mengganti hari dengan tabir kelam malam sungguh sangat mempesona. Sekali dua pernah kulewati pergantian gelap itu dihiasi rintik hujan yang tempias airnya memburamkan kaca. Sungguh saat yang cocok untuk melamun dan menghiasi angan dengan berjuta kisah yang menghangatkan jiwa. Tak jarang  aku menemukan keheningan yang menenteramkan di tengah hiruk pikuk percakapan dan music yang diputar lamat-lamat.
Mengaduk buih-buih putih di atas cairan coklat keputihan itu sering membangkitkan gairah hati yang lesu. Menambah sesachet gula, menakar manisnya, merasakan buih tertinggal di garis bibir atas dan meluruh dalam beberapa jilatan, rasanya seperti ritual penghargaan terhadap pemrosesan kopi dan coklat yang baru kemudian kuketahui caranya.
Secangkir cappuccino dan sepotong almond pie juga menemani saat aku jenuh menggeluti bacaan sebelum presentasi matakuliah yang membut otak mampet secara mendadak. Sampai subuh menjelang tak juga bisa menemukan ide untuk menulis paper yang disyaratkan. Ajaibnya begitu aku duduk melamun-lamun memandang hilir mudik kendaraan dan orang-orang di bawah kakiku sambil mencecap perlahan minuman hangat di cangkir porselen itu, seketika pikiranku tersibak seperti tirai diangkat mendadak dan di baliknya ada segudang ide menyelesaikan tulisan yang harus rampung dalam hitungan jam.
Lalu saat hujan turun memerciki kotaku yang dingin, beberapa cangkir kopi a la Italia itu sanggup menghangatkan percakapan manis yang tertunda bertahun-tahun, walau dalam temaram senja itu hanya ada roti bakar keju sebagai pasangannya. Almond pie terlalu canggih dan cosmopolitan bagi kota kecil yang sederhana ini.
Aku hanya sanggup meringis ketika seorang teman meneleponku dan menceritakan betapa dia sedang duduk di tempat biasanya aku duduk, menghirupi aroma yang biasa aku hirup, dan menyaksikan lembayung melingkupi langit Jogja.
“Sayang sekali kau tak di sini.” Ujarnya sambil tertawa lirih.
Haruskah aku bersamamu? Yang dijawabnya dengan tawa lebih nyata. “Bukan aku yang merindukan senja dengan secangkir cappuccino dan seiris almond pie.”
Lalu sebuah angan tergambar, suatu ketika, aku akan duduk berselonjor kaki di antara kaki kursi langsing dari besi tempa, menekuni sebuah buku dengan menu favoritku itu atau bertopang dagu melamun menyaksikan malam yang perlahan turun di tengah gerimis. Gambaran itu bisa juga disempurnakan dengan kehadiran seseorang yang turut mencecap kemanisan almond pie sambil menatapku dalam diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar